Halaman

Theresia Esi Samkakai Guru Masyarakat Empat Zaman



Theresia Esi Samkakai akrab disapa Mama Esi seorang guru masyarakat dalam empat zaman di Papua. Selama 41 tahun dia mengajar mulai pada zaman Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Dia warga asli Marind-anim yang lahir 1943 di Kampung Wambi, Distrik Okaba Papua. Dia secara sungguh-sungguh telah menjalankan tugas.

Setelah menamatkan pendidikan dasar di Wambi tahun 1953, dia terpilih sebagai satu dari tiga murid terbaik di sekolah. Ia berhak mendapat beasiswa pada pendidikan guru SD atau Opleiding Dorps Onderwijzer (ODO) di Merauke. Sejak itu dia tinggal di asrama, dididik sebagai guru berdisiplin keras.

Selama menjalani pendidikan guru di ODO, Mama Esi belajar bahasa Belanda. Semua materi dan buku ditulis dalam bahasa Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikan guru, ia ditugaskan mengajar di kampung halaman, Wambi, selama tiga tahun (1962-1964). Tahun 1964 ia pindah ke daerah Terek, Distrik Geten Tire, sampai tahun 1970.

Dia pindah lagi ke Tanah Merah (1970-1975), ke Kelapa Lima (1975-1979), dan di Polder (1979-1982). Selama di Polder, Mama Esi aktif dalam pengembangan masyarakat. Tahun 1979 ia ikut membidani lahirnya Yasanto, organisasi yang membantu pemberdayaan masyarakat Merauke dalam pendidikan dan kesehatan. Sampai kini ia aktif di Yasanto.

Dia berhenti mengajar untuk sementara karena menjadi anggota DPRD Merauke (1982- 1987) dan anggota DPRD Provinsi (1987-1992). Pada 1992 Mama Esi mengajar lagi di SD Inpres Mangga Dua, hingga pensiun tahun 2003.

Meski telah pensiun, dia tetap berkarya. Ia aktif mengorganisasi posyandu yang dibangun di rumahnya tahun 1983. Posyandu ini merupakan yang pertama di Merauke. Masa tua Mama Esi dihabiskan dengan mendidik belasan anak dari pedalaman yang ditampung di panti asuhan serta cucu tunggalnya, Mauritz Samkakai (12), dari anak tunggalnya, Frida Kindem (40). Panti itu didirikannya tahun 2002.

Empat Zaman
"2 x 2 = 94. 5 x 2 = 70". Ini bukan rumus matematika baru, melainkan jawaban seorang anak kelas V sekolah dasar di Merauke, Papua, ketika ditanya soal perkalian dalam pelajaran Matematika. Theresia Esi Samkakai (64), pensiunan guru, yang sebenarnya hanya iseng bertanya kepada keponakannya itu justru kaget, lalu tertegun.

Saya bingung kenapa anak seumur itu belum tahu berhitung sederhana. Apa kerja gurunya? Bagaimana pendidikan kita sekarang? kata perempuan yang biasa dipanggil Mama Esi itu dengan nada suara tinggi.

Kekesalan Mama Esi bisa dimengerti karena selama 41 tahun mengajar pada zaman Belanda, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, dia merasa sungguh-sungguh telah menjalankan tugas.

Pendidikan guru yang diterimanya semasa Belanda mengajarkan pada dia, guru harus bisa membekali anak-anak di tingkat pendidikan dasar dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. "Itu bekal yang paling dasar," ujar Mama Esi yang pertama kali ditugaskan tahun 1962 melalui misi Belanda untuk mengajar di SD Desa Wambi, Kecamatan Okaba, Merauke.

Tanpa kualitas pendidikan dasar yang baik, bisa dipastikan akan terbentuk generasi yang lemah dan tak memiliki kemampuan bersaing. Kekhawatiran Mama Esi terbukti, persis seperti itulah yang terjadi saat ini di Papua. Tak jarang ditemui anak-anak seusia SLTP yang tidak bisa baca-tulis.

"Guru-guru sekarang sering meninggalkan sekolah sesukanya. Murid dibiarkan telantar. Saya sering makan hati melihat kondisi anak-anak Papua zaman sekarang, bagaimana mereka bisa bersaing tanpa memiliki kemampuan dan ilmu pengetahuan?" tutur ibu satu anak itu.

Gambaran mengenai guru-guru di pedalaman Merauke yang meninggalkan sekolah dan menunggu gaji buta di kota adalah hal lumrah. Misalnya, di Distrik Kimam, dari 38 sekolah dasar, hanya enam yang masih beroperasi dan siswanya mengikuti ujian pada Mei 2007. Di Welputi, Okaba, dari enam sekolah yang masuk rayon tersebut, hanya tiga yang aktif. Itu pun rata-rata satu sekolah hanya punya satu atau dua guru.

Zaman yang berubah

Jika boleh membandingkan, kualitas pendidikan zaman Belanda, menurut Mama Esi, jauh lebih bagus dibandingkan dengan pendidikan saat ini. Terutama jika dilihat dari tanggung jawab guru dan perhatian pemerintah terhadap guru. Belanda masuk wilayah Merauke tahun 1905. Tahun 1930 Belanda mempelajari kebudayaan masyarakat asli Merauke untuk memahami karakter mereka. Bagi Belanda ini penting karena pendidikan harus dikombinasikan dengan budaya setempat agar dapat dicerna.

Menurut Mama Esi, Belanda juga menciptakan metode pengajaran khusus sesuai dengan budaya setempat, yakni menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan cerita keseharian rakyat. Misalnya, untuk mengenalkan huruf dalam kata "k-a-s-u-a-r-i", guru harus memulainya dengan cerita-cerita rakyat tentang burung kasuari.

Pelajaran juga disampaikan dengan mengajak anak didik bermain. Metode mengajar ala Belanda itulah yang digunakan Mama Esi hingga masa tugasnya berakhir. "Belanda juga mengajari guru membuat alat-alat peraga sendiri. Guru benar-benar disiapkan menghadapi medan berat dan kreatif," ceritanya.

Guru diawasi langsung oleh gereja lewat pastor atau pendeta di desa yang sama. Gaji juga diberikan melalui gereja. "Atas evaluasi dari pastor atau penilik sekolah, guru yang dinilai tak layak mengajar bisa langsung dipecat," ucap Mama Esi.

Seorang guru dipersiapkan tak hanya menjadi guru di sekolah, tetapi juga sebagai guru bagi masyarakat. "Akhirnya, banyak suku-suku di pedalaman yang masih tradisional, meminta agar didatangkan guru ke kampung mereka. Mereka yakin, jika ada guru, masyarakat pasti maju," ujarnya.

Akan tetapi, tak hanya menuntut banyak dari para guru, Belanda juga memberi penghargaan yang lebih baik terhadap guru. Dengan gaji sebulan 800 gulden atau 900 IBRP (Irian Barat rupiah) pada waktu itu, ditambah beras, tepung, dan susu yang berlebihan tiap bulan, guru bisa hidup berkecukupan.

Belanda juga meminta masyarakat agar membangunkan rumah untuk guru-guru. "Guru diposisikan tinggi di mata masyarakat, Belanda membantu mencitrakan hal ini. Kalau sekarang, guru-guru harus mencari kerja tambahan karena penghasilannya pas-pasan," tuturnya.

Di desa-desa pedalaman, Belanda juga mendirikan pasar dan toko yang bisa memenuhi kebutuhan guru. Guru tak lagi punya alasan meninggalkan desa tempatnya mengajar.

"Zaman memang berubah, tantangan lebih sulit, harusnya pendidikan lebih baik. Tetapi, kenapa justru semakin buruk?" ujar Mama Esi geregetan.

Dia patut resah karena Pemerintah Indonesia seperti lalai dengan masalah pendidikan di Papua. Sistem pengawasan guru tak berjalan. Banyak penilik sekolah yang bahkan tidak tahu bagaimana kondisi sekolah yang diawasinya.

"Ini seperti usaha melemahkan sumber daya manusia Papua. Pemerintah jangan hanya berpikir mengambil kekayaan Papua, tetapi juga harus mendidik orang Papua dengan baik. Untuk membenahi Papua harus dari pendidikan. Tanpa ini, masyarakat Papua seperti orang Aborigin di Australia yang ditempatkan di cagar alam," tegas Mama Esi. (Luki Aulia dan Ahmad Arif, Kompas Kamis, 06 September 2007) ►ti

Nama :Theresia Esi Samkakai
Lahir:Wambi, Distrik Okaba, Papua, 1953

Pendidikan:
- SR di Wambi, 1953
- Opleiding Dorps Onderwijzer (ODO) di Merauke

Karir:
- Guru di Wambi, 1962-1964
- Guri di Terek, Distrik Geten Tire, 1964-1970.
- Guru diTanah Merah, 1970-1975
- Guru di Kelapa Lima, 1975-1979
- Guru di Polder, 1979-1982.
- Membidani lahirnya Yasanto, organisasi yang membantu pemberdayaan masyarakat Merauke, 1979
- Anggota DPRD Merauke (1982- 1987)
- Anggota DPRD Provinsi Irja (1987-1992)
- Guru SD Inpres Mangga Dua, hingga pensiun 2003.
- Aktif mengorganisasi Posyandu
- Mendirikan Panti Asuhan, 2002
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)