Halaman

Taufik Abdullah Sejarawan dan Peneliti



Mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini seorang sejarawan dan peneliti yang teguh berpegang pada etika ilmiah. Pria kelahiran Bukittinggi, 3 Januari 1936, lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yogyakarta (1961) dan doktor (S3) Universitas Cornell, Ithaca, AS (1970), ini senang menjadi peneliti, karena merasa tidak terpasung pada birokrasi.


Menurutnya seorang peneliti dituntut untuk berpegang teguh pada etika ilmiah. Karena itu, diperlukan kejujuran, sehingga tercapai integritas intelektual. Sikap wajar diperlukan, di samping rasional dan jernih dalam berpikir -- sikap yang bukannya tidak mengundang risiko.

Prof Dr Taufik Abdullah menganggap sejarawan Indonesia masih terbelenggu pada asumsi-asumsi teoretis maupun primordial. Posisi sejarawan hendaknya netral, dan menjaga jarak dari sasaran penelitian, sehingga dapat memberi makna obyektif terhadap realitas.


Dipandang dari segi peranan kaum intelektual, masa Orde Baru, di mata Taufik, terbagi dalam tiga periode. Masa 1966-1974 merupakan periode kreatif-produktif bagi kaum intelektual. Dalam periode itu berbagai masalah strategi pembangunan dibicarakan. Masa 1974-1978 merupakan periode transisi. Di sini, dilihatnya, ada kecenderungan kaum teknokrasi makin dihargai. Yang dihargai, menurut dia, bukan gagasan mereka, tetapi pelaksanaannya. Periode 1978 hingga sekarang, peranan intelektual semakin diambil oleh penguasa. ''Akibatnya, kesegaran berpikir berkurang, dan eksesnya merangsang untuk bertindak radikal,'' kata Taufik.

Taufik menolak pendapat ahli sejarah modern Indonesia dari Prancis, Dr Jacques Leclerc, bahwa sejarawan Indonesia sering melakukan pembunuhan dua kali terhadap tokoh sejarah bangsanya -- dengan mengucilkannya, karena tidak disenangi oleh kelompok tertentu, dan kemudian bersikap diam terhadap keadaan itu. Kata Taufik, sejarawan memiliki perhatian berbeda terhadap suatu bidang kajian -- yang menyukai dinamika sosial misalnya, tidak bisa dipaksa memperhatikan tokoh-tokoh sejarah.

Menganggap sastra sangat dekat dengan sejarah, ia berpendapat bahwa, ''Perang terlalu besar untuk diberikan pada jenderal saja, dan sastra terlalu penting dibiarkan untuk sastrawan saja!'' Mengingatkan bahwa sejarawan terkemuka pastilah seorang literer, baginya sendiri novel memperkaya pengertian tentang dinamika dan sejarah.

Sebagai peneliti, suami dari Rasida dan ayah tiga anak, ini bekerja tanpa terikat waktu. Pulang dari kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, ia meneruskan kesibukan di rumah. ''Kadang-kadang, malam Minggu, saya sendirian ke Cipanas, biar konsentrasi,'' katanya. Termasuk untuk merampungkan buku barunya, Pengantar ke Sosiologi Moralitas. Sekitar 30 karya tulis yang sudah lahir duluan, termasuk Islam di Asia Tenggara (LRKN-LIPI, 1976). Disertasi gelar doktornya, Scholl and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra, diterbitkan oleh Universitas Cornell, 1971.

Sejak SD ia rajin dan tekun belajar. ''Bukan yang terpandai,'' kata Taufik Abdullah sebagaimana dirilis PDAT. ''Tapi pokoknya termasuk dalam kelompok papan atas.'' Posisi ''papan atas'' tetap didudukinya sampai ia merampungkan studinya pada jurusan sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Cinta kepada ilmu mungkin diwarisi Taufik dari Abdullah Nur, ayahnya. Abdullah, ayah tujuh anak itu, memang seorang pedagang, tetapi gemar membaca. Taufik sendiri akrab dengan dunia bacaan, sejak di SMP. Suatu kali, ia mendapat pinjaman majalah luar negeri, yang penuh gambar. Kagum pada keindahan kota-kota besar seperti New York, Berlin, dan London, anak sulung itu berpikir, ''Siapa tahu nanti bisa terkenal, dan pergi ke luar negeri.''


Belasan tahun kemudian angan-angannya menjadi kenyataan. Dua kali ia mendapat kesempatan memperdalam ilmu di Universitas Cornell, Ithaca, AS. Pertama, 1967, untuk meraih gelar M.A., dan kemudian, 1980, saat menggondol gelar doktor (PhD). Pulang ke tanah air, Taufik memantapkan dirinya sebagai peneliti. Bekas Direktur Leknas-LIPI ini rajin menghadiri berbagai seminar dan pertemuan sejarawan di luar negeri. Ia pernah menjadi wakil presiden Southeast Asian Social Science Association, dan ketua komite eksekutif Program Studi Asia Tenggara. Kini, Taufik tenaga peneliti di LIPI.


Mantan Asisten pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UGM (1959-1961), ini mengawali karir di LIPI sebagai Kepala Bagian Umum Majalah Ilmu Pengetahuan Indonesia (Biro MIPI), Jakarta (1962-1963) dan Asisten Peneliti Leknas LIPI (1963-1967). Kemudian menjadi Peneliti Leknas (1967-1974), Direktur Leknas LIPI (1974-1978) dan Peneliti, LeknaswLIPI (1978) sampai menjabat Ketua LIPI.


Sebuah Pilihan

Sebagai intelektual, ia menghasilkan lebih dari 150 artikel di luar tulisannya di berbagai media massa. Lebih dari 50 kata pengantar ditulisnya, khususnya untuk buku berbau sejarah.

Taufik identik dengan sejarah. Pun sebaliknya. Meski tak ada penelitian khusus tentang persepsi masyarakat, zaman telanjur mengidentikkannya dengan sejarah.

Mengenai hal itu, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) tersebut mengaku tidak tahu. Pencapaiannya saat ini berawal dari sikap yang disebutnya rentetan atas ”keharusan logis sebuah pilihan”.

Persinggungan dengan ilmu sejarah bermula pada tahun 1954. Bersama kawan-kawannya setamat SMA di Bukittinggi, Sumatera Barat, ia berlayar ke Yogyakarta untuk kuliah. Tak jelas jurusan apa yang akan ditekuni.

Pilihan ke Yogyakarta terkait dengan sikap politik ayahnya, republiken tulen. Tak ada celah mendebat keputusan ayah yang menginginkannya belajar di pusat pemerintahan nasional kala itu.

Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya dipilih setelah diskusi dengan teman-teman seperjalanan dan membaca buku. ”Kami membagi jurusan, seolah kami yang akan memerintah negara ini. Waktu itu jumlah lulusan SMA di Sumatera amat sedikit,” ujar dia mengenang.

Pilihannya sempat menyulitkan. Kurikulum kuliah sejarah waktu itu tidak fokus. Tak ayal, ilmu psikologi, sosiologi, tata bahasa, sejarah, hingga filsafat harus dikuasainya. Belakangan, ia mensyukuri kekacauan sistem pengajaran karena memperkaya wawasan.

Di sana ia menjadi asisten pengajar sejarah Eropa yang kemudian menghasilkan skripsi berbahasa Inggris. Satu-satunya skripsi berbahasa Inggris dalam jurusan sejarah hingga kini. Ia lulus tahun 1962.

”Bukan karena bahasa Inggris saya bagus, tapi pembimbingnya orang Inggris dan India,” tutur suami Rasida ini. Tahun 1962-1963 ia menjadi Kepala Bagian Urusan Ilmiah Biro Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) Jakarta.

Gelar master (MA) dan doktor (PhD) diraih di Universitas Cornell, New York, Amerika Serikat, 1970. Disertasinya berjudul ”School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933)” diterbitkan Cornell Press.

Buku itu menjadi bacaan khusus di beberapa kampus di AS. Hasil pendalamannya, ia menulis modernisasi di Minangkabau dan masuk buku bunga rampai ”Culture Politics in Indonesia” karya Claire Holt. Taufik merasa ”kecipratan beken” karena karyanya bersanding dengan karya sejarawan Sartono Kartodirjo, Daniel S Lev, dan Benedict Anderson. Kata pengantar ditulis Clifford Gertz.

Penelitiannya di negara lain makin intens pertengahan tahun 1970-an setelah jabatan fungsional sebagai peneliti dicabut dan karier ahli penelitinya dibekukan pemerintah. Itu terjadi pascaprotes atas pemenjaraan tokoh, pendudukan kampus, dan pemberangusan kantor media massa.

Di masa sulit itu ia tercatat mengajar dan meneliti di Departemen Ilmu Politik Universitas Chicago, Universitas Wisconsin, dan Netherlands Institute for Advanced Studies in the Humanities and Social Science (NIAS) Wassenaar. Lalu menduduki posisi penting di institusi lintas bangsa, seperti Ketua Komite Eksekutif Program Kajian Asia Tenggara (ISEAS) Singapura, Wakil Presiden Asosiasi Ilmu Sosial Asia Tenggara Kuala Lumpur, Wakil Presiden Asosiasi Sosiologi Internasional Dewan Riset Sosiologi Agama. Dan, masih banyak lagi.

Pertengahan tahun 1980-an sanksinya dicabut dan direhabilitasi setelah sempat menyakiti hatinya. ”Sudahlah,” kenang dia.

Ayah tiga anak yang pernah menjadi Ketua LIPI periode 2000-2002 ini masih terlibat dalam berbagai proyek besar sampai sekarang, seperti naskah buku Sejarah Indonesia delapan jilid yang ditargetkan selesai pertengahan tahun. Dia juga mengerjakan tulisan perdebatan peristiwa tahun 1965-1967.

Pertengahan tahun ini ia akan meluncurkan buku yang didanai ISEAS berjudul Indonesia: Towards Democracy di Singapura.

Di usianya sekarang ia mengaku gelisah karena beberapa proyek tidak sempurna dikerjakan dan ia bukan pengajar resmi. Harapannya, muncul sejarawan muda yang berpikiran canggih. Berwawasan luas sebagai dampak ”keharusan logis sebuah pilihan”. (Kompas, 3 Januari 2006)

Spiral Kebodohan Masih Terjadi
Ketua LIPI Taufik Abdullah saat memberikan sambutan pada presentasi Pemilihan Peneliti Muda Indonesia ke-9 di Cibinong, Jawa Barat, Rabu (29/8/2001) sebagaimana disiarkan KB Antara, mengatakan spiral kebodohan masih terus terjadi di Indonesia sehingga terus menggerogoti kehidupan dan budaya yang semula diagungkan sebagai adiluhung.

Menurutnya, spiral kebodohan terus membesar ketika tindakan kebodohan dibalas dengan kebodohan juga. Dia mengatakan, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti semakin menjauh akibat banyak tindakan bodoh yang dilakukan dalam semua lapisan masyarakat, sehingga terus melingkar bagai spiral yang makin membesar setiap hari.

"Bagaimana bisa dibilang cerdas kalau seorang pencuri yang tertangkap malah langsung dibakar?" katanya. Taufik mengatakan, kebodohan dalam kehidupan bangsa ini juga terlihat saat terus-menerus dikumandangkannya slogan `persatuan dan kesatuan'.

"Kalau persatuan itu memang bagus, karena bangsa ini memang terdiri atas berbagai keragaman. Tapi bagaimana mungkin perbedaan itu mau menjadi kesatuan? Kalau kesatuan dalam cita-cita bolehlah," katanya.

Pembicaraan soal negeri ini sebagai warisan nenek moyang, kata Taufik, juga adalah suatu tindakan yang membodohkan, karena negara ini adalah hasil perjuangan, bukan warisan.

Menurut Taufik, saat ini negeri ini juga terus berproses untuk menjadi lebih baik, jadi perlu banyak pemikiran dan ide dari berbagai sumber. "Proses making negara ini tidak bisa diandalkan pada elite-elite politik yang terus-menerus saling cakar," katanya.

Pemilihan Peneliti Muda Indonesia ke-9 dibagi dalam lima bidang, yaitu pengetahuan sosial dan budaya, ekonomi dan manajemen, pengetahuan alam dan lingkungan, teknik dan rekayasa, serta kedokteran dan kesehatan. ►e-ti, dari berbagai sumber di antaranya PDAT, Kompas dan Antara

Nama :Prof Dr Taufik Abdullah
Lahir :Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Januari 1936
Agama :Islam
Isteri:Rasida
Anak :Tiga orang
Ayah :Abdullah Nur

Pendidikan:
- SD (1948)
- SLP (1951)
- SLA (1954)
- S1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yogyakarta (lulus 1961)
- Orientasi Program East-West Center, Universitas Hawaii, Honolulu, AS (1964)
- S2 (Master) Universitas Cornell, Ithaca, AS (1967)
- S3 (Doktor) Universitas Cornell, Ithaca, AS, (1970) Desertasi: School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933)

Karir:
- Asisten pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UGM (1959-1961)
- Kepala Bagian Umum Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (Biro MIPI), Jakarta (1962-1963)
- Asisten Peneliti Leknas LIPI (1963-1967)
- Peneliti Leknas (1967-1974)
- Direktur Leknas LIPI (1974-1978)
- Peneliti, LeknaswLIPI (1978)
- Ketua LIPI (2000-2002

Karya:
Karya tulis penting:
- Sejarah Lokal di Indonesia, Islam di Indonesia, (ed), Tintamas, 1974
- Gadjah Mada Univ. Press, 1979
- Etos (ed) Kerja dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta, (ed.) LP3ES & Yayasan Obor, 1979
- Trends and Perspectives of Social Science in Indonesia, bersama EKM Masinambow (ed.)

Penghargaan:
- Satya Lencana Karya Satya Tk II (1986)
- Penulis Buku Ilmu Sosial Terbaik 1987 dari yayasan Buku Utama (1989)
- Fukuoka Asian Cultural Prize, Category: International/Academica (1991)
- Bitang Jasa Utama RI (1994)
- Bintang Satya Lencana 30 Tahun (1995)

Alamat Rumah :Komp. LIPI A 4, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan

Alamat Kantor:LIPI Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan Telp: 511546

Sumber :PDAT, Kompas dan Antara



Taufik Abdullah
Kebenaran dan Keadilan Ternyata Tak Cukup


Bangsa ini tampaknya tidak sabar dalam menjalankan semua hal, bahkan tidak jarang mengambil jalan kekerasan dan otoriter untuk memaksakan kebenarannya sendiri. Paling tidak, itulah yang bisa kita saksikan dalam hari-hari terakhir ini.

Mahasiswa, dengan maksud baik, memaksakan kebenarannya seakan merekalah pemegang monopoli kebenaran. Buruh, juga dengan maksud baiknya, menuntut perbaikan dengan perusakan. Sebuah organisasi dengan niat menegakkan kebenaran, lupa telah menjalankan hukumnya sendiri yang menjadi salah dalam negara hukum. Pejabat negara, dengan kekuasaannya, juga merasa menjadi pemegang keputusan dan ngotot dengan kebenarannya sendiri. Akhirnya, bangsa ini hanya menumpuk dendam.

Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Taufik Abdullah, mengatakan, kebenaran dan keadilan tampaknya tidak cukup untuk bangsa ini. Kebenaran dan keadilan itu masih harus didampingi kearifan. Dan, kearifan tampaknya masih belum ditemukan negeri ini. Meski demikian, kearifan bukan kunci tunggal menyelesaikan persoalan kebangsaan yang menumpuk dan multidimensi. Pasalnya, kalau kita memaksakan kearifan sebagai kunci tunggal penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan, sama artinya kita menjadi seorang diktator.



Berikut ini petikan pandangan Taufik ketika dijumpai di ruang kerjanya yang sederhana di Lantai 9 Gedung Bundar LIPI, awal pekan ini.

Ada apa dengan bangsa ini?

Saya bandingkan sikap kita pada awal tahun 1950-an. Ketika itu kita baru saja merdeka. Pengalaman selama revolusi dan penjajahan Jepang sangat pahit. Selama penderitaan itu, ada langit impian yang ingin diwujudkan. Ketika kemerdekaan tercapai dan kita ingin mewujudkan impian, kita mengalami Repotnya, dalam situasi begitu ada orang atau kelompok masyarakat yang telah memberi segalanya untuk negara ini, tetapi terbelakang dalam soal pendidikan.

Pada waktu itu ada bekas pejuang yang telah memberikan segalanya untuk negara, tetapi malah tersingkir. Ada orang yang sama sekali tak berjuang untuk negara, bahkan ingin menghancurkan negara, malah mendapat tempat. Jadi, impian tentang bangsa mulai saling bertabrakan, kita susah mengatakan siapa yang benar. Negara rasanya tidak bisa disalahkan karena negara yang baru merdeka ini ingin mewujudkan negara yang tertib, demokratis, dan membangun. Adapun orang yang tersingkir ingin mendapat tempat. Kita punya Darul Islam, Kahar Mudzakar, Daud Bereueh, dan yang lainnya. Belum lagi yang bersifat ideologi. Negara ini mau dibawa ke mana. Belum lagi masuknya pemikiran baru yang berkembang dari luar negeri.

Akhirnya Soekarno mengambil langkah ketertiban pada 1959, sampai kemudian terjadi kekacauan tahun 1965 dan saling bunuh. Soeharto muncul mengambil kekuatan melanjutkan rencana ketertiban Soekarno dengan pemerintahan otoriter. Pada saat otoriter, kita dipaksa seragam dalam banyak hal. Banyak yang tak boleh dilakukan, banyak keharusan yang mesti dilakukan.

Kemudian, apa yang terjadi setelah Soeharto mundur. Muncul perubahan dan masalah yang lebih kompleks dibandingkan ketika Soekarno memimpin negara. Ketika Soekarno, kita belum kenal dendam, belum ada luka.

Bahkan, ketika UUD 1945 dibuat, sesudah dipelajari memperlihatkan hasil murni dari zaman orang belum berdosa. Dengan UUD 1945 semua percaya akan baik. Beberapa pasal menyebutkan ini akan diatur dalam UU. Seakan-akan pembuat UU itu tetap dilakukan orang baik. Pasca-Soeharto sampai sekarang, ada banyak luka dan dendam.

Apa pengaruhnya bagi generasi yang hidup sekarang?

Memang, generasi yang hidup sekarang sebagian besar lahir di atas tahun 1959. Artinya, besar kemungkinan pernah hidup dalam sistem otoriter. Jadi, tanpa sadar ada bawaan otoriter dalam diri kita, generasi yang lahir di atas 1959. Lihat saja, sekarang, siapa pun merasa berhak menuntut dan memperjuangkan dengan cara cerdas. Akhirnya dendam bertambah.

Problem kita yang terlupakan, melihat masa sekarang sebagai masa sekarang. Padahal, yang sekarang itu bersifat transisi, yang sekarang itu sebagai peralihan ke masa depan. Kalau kita menyelesaikan masalah sekarang dengan berpikir hanya sekarang, besar kemungkinan kita bisa mengulang kejadian masa lalu dan memperdalam dendam, serta melupakan ke mana arah ke depan. Padahal, pada saat yang sama kita tidak bisa memegang kebenaran sendiri.

Kita tak bisa hanya berpegang pada kebenaran. Sebab, kebenaran kita bisa berbeda dengan kebenaran orang lain. Keadilan kita berbeda dengan keadilan orang lain. Kita menyaksikan bagaimana rasa keadilan ketika orang melakukan kejahatan yang merugikan negara hingga miliaran rupiah dihukum satu tahun. Sementara yang melakukan kejahatan lebih kecil dihukum tujuh tahun. Mana yang adil.

Apa yang bisa dilakukan bangsa ini?

Yang kurang itu kearifan. Sekarang kita melihat orang ingin berlomba menguasai sejarah. Penulisan sejarah itu cenderung ingin mengatakan bahwa yang benar itu versi saya. Padahal, sejarah bukan untuk memupuk dendam. Bahkan bukan juga untuk mencari pembenaran. Sejarah itu menghasilkan loncatan kearifan, tidak perlu tahu siapa membunuh siapa, tetapi kita ketahui kalau tindakan buruk itu ada implikasi jeleknya.

Ternyata kearifan kita kurang, dan tidak bisa kita merasa benar sendiri. Meskipun, belum pernah bangsa ini mengalami tingkat kompleksitas persoalan yang sangat beragam. Sebelum tahun 1966 ada pola yang bisa kita lihat, misalnya Anda PKI atau bukan. Jika PKI, kemungkinannya ada tiga kelas, yaitu A, B, C, atau kelas yang harus dilenyapkan dulu.

Akan tetapi, sekarang di Ambon, Anda bisa dibunuh hanya karena Islam atau Kristen tanpa tahu apa salahnya. Kondisi menyedihkan ini juga terjadi di Poso dan Kalimantan. Jalan terpendek yang bisa diambil ya jalan Pak Harto yang setahap demi setahap menjalankan otoriter. Tetapi, apa kita mau itu.

Bagaimana meningkatkan atau memupuk kearifan?

Pertama kita harus sadar bahwa dalam setiap masalah ada beragam alternatif dan pemecahan yang harus kita ambil. Tetapi jangan lupa juga, makin berat masalah, makin terbatas jumlah alternatifnya. Dengan demikian, kita juga menemukan dalam suatu masalah, tidak lagi pilihan yang ada, tetapi dilema. Artinya, kita berhadapan pada masalah etik yang murni. Etik kan tidak sama dengan moral. Etik berdasarkan teori. Etik tergantung pada apa yang dianggap kewajiban dan kebajikan.

Dalam soal beras, kalau dihitung mungkin pemerintah benar. Tetapi, kok oposisi cukup berat. Karena kita sudah kehilangan saling percaya. Karena dengan impor beras, ada kemungkinan Anda bermain. Ketidakpercayaan ini menjadi krisis yang krusial. Kita tak punya kepercayaan pada pemimpin.

Pada masa lalu, Aidit pun dianggap pemimpin rakyat. Sekarang kita menyempitkan pemimpin sebagai pemimpin kelompok tertentu dan bukan pemimpin bangsa. Ini masalah berat, dari atas di tingkat elite sendiri juga saling tidak percaya, ketika ke bawah juga masuk sektarian.

Bagaimana supaya krisis itu berakhir?

Ini repot. Karena dengan adanya otonomi daerah, orang yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan makin banyak jumlahnya. Itu memang membutuhkan waktu. Demokrasi memberi kesempatan bagi orang untuk menunjukkan segala hal, punya berbagai macam pemikiran, tetapi juga membuka kesempatan untuk membicarakan segala hal. Repotnya, karena mind set kita masih otoriter, yang pernah dikuasai pemikiran siapa yang berkuasa itu pasti korup. Itu masalah kita. (Imam Prihadiyoko, Kompas 18 Maret 2006) ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)