Halaman

Hasan Karman Walikota Singkawang


Hasan Karman

Pasangan Hasan Karman-Edy R Yacoub, dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Singkawang periode 2007-2012. Hasan merupakan etnis Tionghoa pertama yang menjadi kepala daerah di Kalimantan Barat. Pelantikan dilakukan Wakil Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) LH Kadir dalam Rapat Paripurna DPRD Singkawang Senin (17/12/2007), yang dijaga 780 personel polisi dan TNI.

Dalam Pilkada Kota Singkawang 2007, Kandidat Doktor Hasan Karman, SH, MM dan Edy R Yacoub mengalahkan pasangan incumbent Awang Ischak-Raymundus Sailan dan tiga kandidat lainnya.

Dalam pidato pelantikan itu Wagub Kadir mengatakan, kemenangan Hasan-Edy bukanlah milik mereka berdua atau kelompok tertentu, tetapi kemenangan rakyat Singkawang. Kadir mengingatkan, jika ada perbedaan pendapat atas hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) diharapkan hal tersebut tidak menimbulkan konflik yang bisa mengganggu perekonomian rakyat Singkawang.

Sementara, Hasan Karman menyatakan berkomitmennya untuk memberantas kemiskinan. Untuk itu, dia antara lain, akan menarik investor untuk membuka lapangan pekerjaan di daerah yang terkenal dengan julukan "Kota Seribu Kuil/Pekong" itu. Untuk mendukung hal tersebut, dia akan memangkas birokrasi perizinan yang selama ini turut menyebabkan tingginya ongkos ekonomi.

Kemenangan Hasan disambut warga Singkawang yang menunjukkan adanya kesadaran warga etnis Tionghoa sebagai bagian dari anak bangsa, yang memiliki hak dasar mengembangkan daerahnya dan berkecimpung di ranah politik. Sebagian besar penduduk Singkawang sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang adalah etnis Tionghoa. ►ti


Hasan Karman-Edy R Yacuob Figur Pemimpin Masa Depan

Hasan Karman-Edy R Yacuob Figur Pemimpin Masa Depan
Kota Singkawang merupakan daerah strategis di Kalbar yang belum terbangun secara maksimal. APBD, DAK dan DAU belum cukup membangun kota tersebut tanpa adanya campur tangan dari pihak luar atau investor. Keinginan yang kuat membangun Kota Singkawang terlihat dari sosok Hasan Karman dan Edy R Yacoub sebagai figur pemimpin masa depan.

Ketika ditemui Equator, Hasan Karman mengatakan banyak hal yang perlu diperjuangkan untuk meningkatkan kemajuan Singkawang dalam semua bidang. Pada dasarnya untuk mewujudkan kemajuan tersebut bukan pekerjaan yang susah, kalau kepala daerahnya memiliki jaringan atau relasi dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri.

"Singkawang sudah membangun, hanya yang dibangun menggunakan dana APBD yang terfokus pada infrastruktur seperti jalan, saluran air dan sebagainya. Kalau kita bilang tidak ada membangun itu juga salah. Tetapi yang dibangun tidak sungguh-sungguh dan belum menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat," kata Hasan usai menyampaikan viasi-misi di DPRD Singkawang, Senin (29/10).

Sebagai putra daerah Singkawang, Hasan menilai persoalan yang dihadapi di Singkawang masih menyangkut persoalan normatif seperti kemiskinan, pendidikan dan kesehatan. Itu semua terjadi karena kesulitan perekonomian masyarakat. Lapangan pekerjaan kurang memadai dan pembangunan ekonomi juga tidak berjalan.

"Kalau Pemkot mengerti, bagaimana meningkatkan pembangunan ekonomi, maka jangan hanya berkutat pada APBD, DAK dan DAU. Harus ada akses untuk mengundang investor swasta untuk datang," katanya.

Akses investor swasta sudah dimiliki oleh warga Singkawang. Perantau-perantau atau orang kelahiran Singkawang sendiri yang keluar dari daerah kelahirannya sangat banyak. Mengandalkan etos kerja yang ulet, mereka bekerja di luar dan berhasil. Inilah yang harus digalang supaya mereka pulang kampung dan membangun kampung halamannya.

"Bagaimana caranya, Walikota Singkawang nantinya harus berwibawa dan memiliki daya tarik mengajak mereka untuk kembali ke kampung halamannya. Mereka itulah yang nantinya akan membawa modal dari luar untuk mengembangkan daerahnya sendiri," ungkap Hasan.

Diluar investor swasta yang notabene-nya orang Singkawang, walikota yang terpilih juga harus memiliki akses kepada investor lain baik dalam maupun luar negeri. Kalau sudah ada dana APBD, DAK, DAU dan investor swasta ditambah lagi bantuan dari luar negeri, nantinya akan mengembangkan dan mensejahterakan masyarakat Singkawang.

"Mengapa saya katakan demikian, Singkawang merupakan suatu kawasan yang memiliki lahan yang sangat cocok mengembangkan usaha dengan melibatkan pemodal asing yang tidak mengikat," paparnya.

Masyarakat kita masih tertinggal dan miskin, dengan melibatkan investor asing banyak hal yang mereka bisa bantu. Asalkan, Pemkot jangan korupsi atas dana yang dikucurkan. Secara tidak langsung, mereka bukan hanya menanamkan modalnya saja. Melainkan juga membantu masyarakat mengatasi masalah kemiskinan, pendidikan serta kesehatan.

"Mereka dari luar negeri juga selalu membidik masalah-masalah yang demikian, hanya saja tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah kita," ujarnya.

Berbicara masalah target yang akan diperoleh nantinya, Hasan tidak mau omong besar. Melihat jumlah kandidat yang ikut bersaing, Hasan memprediksikan pasangannya akan mendapatkan 30 persen suara masyarakat Singkawang. Apabila masing-masing kandidat memiliki kekuatan yang sama, maka masing-masing kandidat akan mendapatkan 20 persen suara. Kalau 25 persen plus satu yang diperoleh maka kandidat yang bersangkutan sudah menang tanpa ada putaran kedua.

"Mengapa saya targetkan demikian, karena untuk setiap kecamatan saya sudah 16 bulan melakukan sosialisasi. Sekarang masuk bulan ke 17. Selama saya turun ke setiap kecamatan, penerimaan masyarakat sangat positif, maka saya yakin mereka tidak akan berpindah ke lain hati dalam pemilihan Walikota Singkawang 15 November mendatang," tukas Hasan. (amk) Sumber: http://singkawang.blogs. friendster.com/singkawang/2007/11/hasan_karmanedy.html



Harian Bisnis Indonesia edisi Minggu, 30 Juli 2006

'Itu sebutan politik era kolonial'

Sebagai keturunan etnis Tionghoa, Hasan Karman merasa prihatin. Sebab, sejak penjajahan Belanda hingga era reformasi istilah pribumi dan nonpribumi masih melekat.

Profesi advokat bukan berarti harus melulu berkutat pada urusan hukum. Jika merasa mampu dan mempunyai banyak waktu luang berbagai bidang bisa ditekuni, apakah itu sebagai pelaku bisnis, politikus maupun aktivis sosial untuk kepentingan masyarakat.

Begitulah kira-kira prinsip hidup Hasan Karman, senior partner pada Kantor Hukum Rah & Partner dan Kantor Paten Ambrosius International Patent. Pengacara ini ingin mewujudkan pembauran etnis di Tanah Air secara utuh.

Meski kesibukan sebagai advokat cukup padat dalam menangani keperdataan, hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan pembicara masalah hukum di berbagai seminar, namun waktu untuk berbisnis, berpolitik dan kegiatan kemasyarakatan tetap dijalankan tanpa harus mengorbankan kepentingan lainnya.

Saat ini dia tercatat sebagai pengurus pusat Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) yang tengah sibuk mengatur strategi dalam menghadapi Pemilu 2009.

Begitu juga aktivitas kemasyarakatan yang digelutinya. Sebagai Wakil Ketua Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya (Permasis), Hasan bersama pengurus lainnya getol melakukan kampanye asimilasi etnis guna menghapus istilah nonpribumi bagi keturunan Tionghoa.

Yang tidak kalah menarik adalah beragam bidang bisnis yang digelutinya, mulai dari makanan, batu bata putih sampai penyiaran. Sebagian dari usahanya bermula dari hobi.

Bidang makanan, misalnya, lantaran gemar mencicipi masakan, Hasan membuka usaha restoran. Kini dua gerai rumah makan yang diberi nama Bong berdiri di kawasan Sunter dan Kelapa Gading.

Sedangkan kesenangannya bermain frekuensi sejak remaja disalurkan melalui radio swasta niaga Omega.

"Saran saya, jika ada peluang bisnis pada hobi yang kita tekuni, jangan disia-siakan. Apalagi menghasilkan finansial [uang]," paparnya.

Lantas bagaimana dengan bisnis batu bata, apakah juga dilatarbelakangi hobi mengoleksi material bangunan?

"Ya, nggak lah. Ini murni bisnis, tidak ada hubungan dengan hobi. Prinsipnya, begitu melihat peluang dan bisa menguntungkan, ya... saya sikat," tegasnya.

Bisnis batu bata itu menelan investasi sekitar US$5 juta dan digarap melalui PT Prima Rezeki Pertiwi (PT PRP) dengan membangun pabrik batu bata putih (autoclaved light concrete) pada 2003 di Rangkas Bitung, Banten.

Bukan tanpa alasan berinvestasi bata putih. Hasan melihat pertumbuhan bisnis properti begitu pesat sejak pascakrisis, di mana pembangunan gedung dan perumahan sejak 2001 terus meningkat. Sementara jumlah produsen batu bata sedikit.

Bukan coba-coba
Pengusaha itu menepis anggapan bahwa bisnisnya hanya coba-coba. Sebaliknya dia merasa yakin lima tahun ke depan kebutuhan bata terus meningkat. Meski begitu jumlah produksi tetap belum mampu menutupi permintaan. Apalagi produsennya masih sedikit. Saat ini, termasuk dirinya, baru ada empat pengusaha yang menggeluti bidang tersebut.

Dua tahun sejak mulai berproduksi, dia sudah menerima pesanan bata putih sebanyak 150.000 m3 per tahun. Diharapkan untuk dua tahun ke depan produksinya diprediksi mencapai 400.000 m3 sampai 500.000 m3 per tahun, mengingat permintaan terus berdatangan.

Tapi kenapa bata putih? Material itu kini menjadi tren bagi proyek pembangunan gedung bertingkat dan perumahan mewah. Selain beratnya ringan, tahan panas, dan kedap suara, kualitasnya lebih baik dibandingkan batu bata merah.

"Karena itu perbandingan harganya pun jauh. Batu bata merah sekitar Rp125.000 per m3, sedangkan bata putih saya jual mulai Rp450.000 sampai Rp500.000 per m3. Tergantung ukurannya," jelas Hasan.

Bila volume pesanan tidak menurun, dalam empat tahun investasinya akan kembali.

Sebagai keturunan etnis Tionghoa, Hasan merasa prihatin sebab sejak penjajahan Belanda hingga era reformasi istilah pribumi dan non-pribumi masih melekat. Jika tidak segera dirumuskan solusinya, dan menjadi tanggung jawab bersama, maka rencana pembauran akan sia-sia.

"Perbedaan jarak akan terus meruncing. Sebutan itu merupakan politik kolonial Belanda, tujuannya memecah belah. Padahal, kalau kita mau jujur, wali penyebar agama Islam di negeri ini ada diantaranya keturunan Tionghoa."

Dia tidak sependapat bila kehidupan etnis minoritas dikatakan eksklusif, berkelompok dan tidak membaur. Secara harafiah, keturunan Tionghoa mendambakan asimilasi, hidup rukun bersama penduduk lainnya.

Tapi karena ada penekanan psikologis dari sebagian masyarakat, dimana pengaruh politik 'belah bambu' kolonial Belanda belum pupus dari generasi ke generasi, maka mau tidak mau mereka akhirnya hidup di lingkungannya sendiri.

"Cuma kapan keinginan itu terwujud. Saya akui, memang tidak seperti membalikkan telapak tangan. Perlu waktu. Apalagi di era Orde Baru, perbedaan itu dipelihara selama 30 tahun," paparnya.

Melalui Permasis dia ingin mewujudkan pembauran melalui pendekatan budaya, sosial, dan kebersamaan di berbagai aspek. Salah satunya adalah buku tentang pembauran etnis Tionghoa Singkawang (Kalbar) dengan penduduk setempat yang tengah ditulis.

"Terus terang, meski saya terlahir dari keturunan Tionghoa, tapi saya tidak merasa sebagai orang China. Saya putra Indonesia, begitu juga anak-anak saya," tegasnya.

Cap etnis Tionghoa atau keturunan China harus dihilangkan. Sikap diskriminasi sudah tidak perlu lagi dipelihara. Yang mesti dijunjung tinggi adalah kebersamaan, saling menghormati, dan berbaur satu sama lain.

Cap buruk
Dia memuji sikap pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan cap buruk itu. Pemerintahan sekarang pun jauh lebih baik, dimana keturunan Tionghoa sudah banyak menjadi pegawai negeri, polisi, tentara, bupati, dan bahkan menteri.

"Contohnya Kwik Kwan Gie, pernah jadi menteri. Lalu Basuki Tjahaja Purnama alias A Hok, kini menjabat Bupati Belitung Timur. Dua tokoh etnis itu merupakan hasil nyata era reformasi," ungkap Hasan.

Pada dasarnya keturunan Tionghoa sama seperti halnya masyarakat lain, mampu menjadi warga negara yang baik. Hanya saja kesempatan seperti itu tidak pernah ada di masa Orde Baru. Justru yang terjadi pengkotak-kotakan etnis dan penajaman diskriminasi.

"Saya sedih, ketika di SMA dan perguruan tinggi mulai merasakan ketidakadilan itu. Saya tersisih dari pergaulan hanya karena mata saya sipit dan kulit putih. Padahal ketika masih kecil hampir tidak pernah merasakan perbedaan, saya berbaur dengan anak-anak setempat."

Agar hal itu tidak terulang kembali, dia menyekolahkan anak-anaknya pada institusi pendidikan yang anti-diskriminasi, serta memberi pengertian tentang pembauran dalam arti yang luas kepada keluarganya.

"Ini penting sekali. Terutama dorongan psikologis agar anak-anak tidak sedih atau kecewa jika di tengah pergaulan mendapat sikap diskriminasi dari seseorang atau kelompok yang masih memelihara cap buruk itu," katanya.

Hasan juga menyesali tindakan massa yang cenderung berbau rasial jika ada peristiwa kriminal yang dilakukan keturunan Tionghoa. Fenomena itu sebagai bukti nyata bahwa sebagian masyarakat masih mewarisi budaya diskriminasi kolonial Belanda.

Mestinya, menurut dia, tindakan itu tidak perlu terjadi mengingat pelaku kriminal itu adalah manusia yang mempunyai banyak kekurangan. Seperti halnya anggota masyarakat pada umumnya, berbuat kesalahan karena emosi berlebihan.

Tapi kenapa jika pelakunya dari etnis minoritas, tindakan rasialis begitu cepat tersulut. Massa memusuhi anggota etnis lainnya, yang dianggap turut bertanggung jawab atas dosa satu orang. Sikap yang tidak adil dan kurang bijaksana.

Melihat fakta tersebut dia meminta pemerintah agar melibatkan banyak tokoh masyarakat guna meredam tindakan rasialis, sekaligus menghapus sikap yang tidak bertanggung jawab.

Sangat tidak adil, di satu sisi keturunan Tionghoa ingin membaur, di sisi lain masih ada sikap diskriminatif dan rasialis dari anggota kelompok masyarakat.

Sudah saatnya perilaku semacam itu dihilangkan. Adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan komponen masyarakat untuk mengkampanyekan asimilasi, serta menjadikan pembauran sebagai ideologi bangsa. ( sinano@bisnis.co.id)

Oleh S. Hadysusanto
Wartawan Bisnis Indonesia



Wawancara:
'Waktu saya kecil tidak ada perbedaan'

Profesi advokat yang digeluti Hasan Karman, merupakan 'kompensasi', lantaran dia tidak bisa menjadi polisi di era Orde Baru yang menghambat anak keturunan Tionghoa memasuki institusi tersebut. Tapi dia tidak patah semangat. Baginya mengabdi di bidang hukum tidak harus mengenakan seragam kepolisian.

Berikut kutipan wawancara.

Pendidikan formal Anda hukum, lantas apa yang melatarbelakangi keberhasilan di bisnis?
Pendidikan bisnis dari ibu saya. Kebetulan beliau buka toko kelontong. Selepas sekolah saya bantu berdagang. Itu sebabnya saya paham dalam urusan jual beli. Mungkin saja bakat bisnisnya menurun ke saya.
Seusai kuliah atau sebelum saya menjadi advokat saya bekerja ke Barito Pacific Timber Group selama delapan tahun. Jabatan terakhir saya asisten direktur dari sebelumnya manajer SDM dan kepala perwakilan untuk Banjarmasi-Pontianak.
Jangan salah, selain hukum saya mengambil strata dua bidang manajemen di Sekolah Tinggi Managemen PPM. Dan kini saya tengah menempuh S3 di Universitas Negeri Jakarta mengambil bidang Managemen Lingkungan.

Mengapa Anda ingin memasuki dunia politik?
Semua orang ingin duduk di pemerintahan, tapi belum tentu mampu memimpin rakyat. Sangat tidak mudah. Begitu juga masyarakat yang akan dipimpinnya, belum tentu respek dan bakal memilihnya. Semua itu kembali kepada manusianya itu sendiri.
Saya memang suka politik, sebab bidang itu bagian dari kemasyarakatan yang saya tekuni pada saat kuliah. Saya aktif di banyak organisasi masyarakat.
Tapi saya menolak anggapan masuk partai lantaran semata-mata ingin jadi presiden, menteri, gubernur, bupati atau anggota DPR. Bukan itu tujuan saya.
Sejauh ini saya memang ditawari menjadi kandidat Walikota Singkawang, tempat kelahiran saya oleh beberapa partai,pada Pilkada 2007. Tapi saya belum memutuskan, meski ada dorongan hati kecil saya ingin memperbaiki pembangunan di sana agar tidak tertinggal.

Sebenarnya keinginan Anda itu apa?
Dari kecil saya ingin jadi polisi atau tentara. Kenapa? Saya ingin keadilan dirasakan oleh seluruh rakyat di negeri ini, termasuk etnis Tionghoa yang selama ratusan tahun hidup dalam diskriminasi. Saya sedih sekali berada di tengah kehidupan itu.
Ketika kecil saya tidak merasakan adanya perbedaan pribumi dan nonpribumi. Saya bermain, berbaur dengan anak-anak setempat tanpa ada perbedaan ras.

Pewawancara: S.Hadysusanto
Sumber: Bisnis Indonesia 30 Juli 2006


DR(Cand.) Hasan Karman, S.H, M.M


Koran National News, Jumat 24 November 2006

"Menyekolahkan anak pada institusi pendidikan yang antidiskriminasi sangat penting. Terutama ini menjadi dorongan psikologis agar anak-anak tidak sedih atau kecewa jika di tengah pergaulan mendapat sikap diskriminasi dari seseorang atau kelompok yang masih memelihara cap buruk itu."

Hasan Karman, Presiden Komisaris PT Prima Rezeki Pertiwi mengungkapkan hal itu sebagai alasan mengapa ia menyekolahkan anak-anaknya pada institusi pendidikan yang antidiskriminasi.

Why Him

PENDERITAAN yang pernah dialami Hasan Karman hanyalah sekelumit dari ketidakadilan yang bertahun-tahun mendera suku Tionghoa di Tanah Air. Kegigihannya terus mencari jalan untuk mendorong terciptanya keadilan di negeri ini patut mendapat apresiasi.

Kesuksesannya dalam bidang bisnis tak menyurutkan Hasan untuk terus berkiprah mendorong terciptanya keadilan yang lebih sempurna. Terlebih karena langkah terpuji itu ia lakukan mulai di dalam keluarga sendiri, sebelum kemudian berkiprah lewat organisasi masyarakat dan politik.

Kini setelah keadilan itu semakin baik di negeri ini, terutama terhadap suku Tionghoa, putra Indonesia antidiskriminasi ini tak lantas berhenti berbuat bagi kemajuan bangsa dan negara. Paling tidak, ini terlihat dari keaktifannya dalam partai politik, dan visi realistisnya terhadap pembangunan Singkawang, Kalimantan Barat, kota kelahirannya.

Hasan Karman
Getol Hapus Diskriminasi

'Penderitaan' yang dialaminya menjadikan Hasan Karman tertantang. Karena itu, dia tak berhenti menyuarakan antidiskriminasi.

Terlahir dari suku Tionghoa tak mengubah keyakinan Hasan Karman bahwa ia adalah putra Indonesia. Kebanggaan sebagai putra Indonesia itu ditunjukkan sejak kecil. Di kota kelahirannya, Singkawang, Kalimantan Barat, pria yang menamatkan pendidikan dasarnya di SD Katolik Bruder, Singkawang, ini selalu membaur dan bermain bersama anak-anak sebayanya tanpa adanya perbedaan. Dan Hasan sangat menikmati masa-masa kecilnya yang jauh dari diskriminasi tersebut.

Tapi masa-masa bahagia itu berlalu saat memasuki sekolah lanjutan atas hingga perguruan tinggi. Di sini, Hasan mengalami 'penderitaan' baru karena ia mulai merasakan ketidakadilan.

"Saya tersisih dari pergaulan hanya karena mata saya sipit dan kulit putih," ujarnya. Padahal, persoalan seperti ini sama sekali tak pernah menderanya di masa kecil

'Penderitaan' panjang tersebut tak membuat Hasan berputus asa. Sebaliknya, kebanggaan sebagai putra Indonesia mendorong suami Emma Febri ini untuk ikut mendorong terciptanya keadilan di negeri yang bersuku bangsa majemuk ini.

Dan itu diawali dari keluarga sendiri. Agar ketidakadilan tersebut tak terulang, Presiden Komisaris PT Prima Rezeki Pertiwi ini menyekolahkan anak-anaknya di institusi pendidikan yang antidiskriminasi. Hasan juga selalu memberikan pengertian tentang pembauran dalam arti yang luas kepada keluarga.

Di luar itu, Hasan mengkampanyekan pembauran melalui organisasi kemasyarakatan Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya (PERMASIS). Hasan yang duduk sebagai wakil ketua di organisasi itu bersama pengurus lainnya getol melakukan pembauran etnis guna menghapus istilah nonpribumi bagi suku Tionghoa.

"Lewat Permasis, saya ingin mewujudkan pembauran melalui pendekatan budaya, sosial dan kebersamaan di berbagai aspek. Meski terlahir dari suku Tionghoa, saya tidak merasa sebagai orang China. Saya putra Indonesia. Begitu pula anak-anak saya." jelasnya.

Kini, Hasan Karman mengaku sedikit lega. Persoalan diskriminasi lambat-laun sudah tergerus. Pemerintahan saat ini jauh lebih baik. Suku Tionghoa sudah banyak menjadi pegawai negeri, polisi, tentara, bupati bahkan menteri.

"Contohnya Kwik Kian Gie, pernah menjadi menteri, dan Basuki Tjahaja Purnama yang kini menjabat Bupati Belitung Timur. Dua tokoh itu merupakan hasil reformasi," terangnya.

Politik Adalah Akal Sehat

SELAIN pengusaha, Hasan Karman juga dikenal sebagai seorang politisi. Kiprahnya di dunia politik dimulai pada 2004 ketika menjadi calon legislatif (caleg) DPR dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) untuk pemilihan daerah Kalimantan Barat. Tapi karena minimnya persiapan ia gagal meraih kursi Dewan.

Kegagalan itu tak membuat Hasan patah arang dan meninggalkan organisasi politik, pasalnya berorganisasi sudah menjadi kegemarannya sejak di bangku kuliah. Bahkan setelah lulus, ayah dari Stella, Sonya dan Shianne ini juga aktif di banyak organisasi kemasyarakatan.

Pengalaman itu ditambah pengetahuan dan wawasan serta pergaulan dan lobi yang cukup luas pula, mengantarkan Hasan menjadi aktivis di Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB). Kini di tengah kesibukannya sebagai pengusaha dan advokat di Law Firm RAH & Partner, Kantor Paten Ambrosius International Patent, ia juga duduk sebagai Bendahara Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PPIB.

"Saya memang suka politik karena politik itu adalah akal sehat," ujarnya.

Tapi ia menolak masuk partai lantaran semata-mata ingin menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota DPR. "Bukan itu tujuan saya," tegasnya.

Lantas apa yang menjadi tujuan sebenarnya? "Saya hanya ingin memberi kontribusi kepada daerah kelahiran dan bentuk kepedulian saya sebagai warga negara Indonesia terhadap masalah negara," imbuhnya.


Dijagokan Jadi Walikota


PEMILIHAN Walikota dan Wakil Walikota Singkawang, Kalimantan Barat, baru akan berlangsung pada 2007 mendatang. Tapi nama-nama kandidat sudah mulai dilambungkan. Salah satu sosok yang disebut-sebut berpeluang menduduki jabatan itu adalah Hasan karman.

"Sejauh ini saya memang ditawari menjadi kandidat Walikota Singkawang, tempat kelahiran saya, oleh beberapa partai dalam pilkada mendatang. Saya sendiri belum memutuskan, meski dorongan hati keci saya ingin memperbaiki pembangunan di sana agar tidak tertinggal," kata Hasan.

Dorongan itu sendiri muncul karena Hasan karman memiliki visi yang realistis untuk pembangunan Singkawang. Visinya antara lain ingin memajukan kota kelahirannya sebagai kota industri, perdagangan, jasa, pariwisata, dan bidang-bidang krusial lainnya.

Dalam melaksanakan visinya itu, menurut Hasan, Singkawang tidak bisa dilepaskan dari kerjasama dengan Bengkayang dan Sambas. Ketiga kota ini memiliki keterkaitan historis dan kepentingan yang tidak terpisahkan.

"Untuk menghadirkan investor di Singkawang, harus diciptakan gula. Seperti pepatah, dimana ada gula di situ ada pula semut. Saya memiliki kiat untuk itu," jelasnya.

Belajar Dagang Sejak Kecil

SAMA seperti anak suku Tionghoa lain, Hasan Karman tak bisa seenaknya menghabiskan waktu senggangnya untuk bermain. Sepulang sekolah di SD Katolik Bruder, Singkawang, Hasan kecil biasanya langsung pulang ke rumah. Selepas mengganti seragam sekolah dan makan siang, ia bergegas menghampiri ibunya yang membuka warung kelontong. Bukan untuk mengambil makanan kecil, atau sekadar bercengkerama bersama ibunya, tapi membantu melayani para pembeli.

Rutinitis yang berjalan hingga ia menamatkan pendidikan di SMP Katolik Bruder ini lambat-laun menempa Hasan untuk memahami seluk-beluk dagang. Bahkan, bakat bisnis dari ibu kemudian menurun ke Hasan.
Terbukti setelah sempat menduduki berbagai jabatan di Barito Pasific Group, Hasan mulai merambah ke dunia bisnis. Bisnis yang digelutinya mulai dari makanan, batu bata putih, dan media elektronik radio.

Di bidang makanan, Hasan membuka usaha restoran. Kini ia memiliki dua gerai rumah makan yang diberi nama Restoran Bong di Kawasan Sunter dan Kelapa Gading. Untuk bisnis batu bata putih, ia garap lewat PT Prima Rezeki Pertiwi. Bisnis batu bata tersebut menelan investasi sekitar 5 juta dollar AS. Pabrik batu batanya terletak di Rangkas Bitung, Banten. Di bidang media elektronik, Hasan yang memiliki hobi bermain frekuensi sejak remaja ini mendirikan Radio Niaga Omega.

Beragam usaha yang digeluti pengusaha ini tak terlepas dari prinsip bisnis yang dipegang Hasan. "Kalau ada peluang usaha dan menguntungkan, ya...saya ambil," jelasnya.

Bisnis batu bata putih, misalnya menurut Hasan sangat berprospek. Kebutuhan batu bata putih untuk lima tahun ke depan akan terus meningkat. Meski begitu, jumlah produksi tetap belum mampu menutupi permintaan. Apalagi produsennya masih sedikit. "Itu alasan kenapa saya masuk ke bisnis ini," terangnya. (National News, 24 November 2006)

Nama :Hasan Karman, SH, MM
Lahir :Singkawang, 6 Agustus 1962
Jabatan:Walikota Singkawang
Istri :Emma Febri
Anak :Stella, Sonya dan Shianne


Pendidikan:
- SD Katolik Bruder, Singkawang (1969-1975)
- SMP Katolik Bruder, Singkawang (1976-1979)
- SMA Kolese St. Yusuf, Malang (1979-1982)
- S1 Universitas Indonesia Fak. Hukum (1982-1988)
- S2 Sekolah Tinggi Manajemen PPM Jakarta (1995-1996)
- S3 Universitas Negeri Jakarta (2005-sekarang)

Karir:
- Staf Personalia & Umum Barito Pacific Group (1988-1989)
- Deputy Factory Manager Barito Pacific Group (1989-1991)
- Kepala Perwakilan Banjarmasin-Pontianak Barito Pasific Group (1992-1996)
- General Manager PT Panca Metta Jakarta (1997-2003)
- Advocat Senior Lawfirm Hasan, Samudra & Partners (2002-sekarang)
- Senior Partnet Law Firm RAH & Partners, Kantor Paten Ambrosius International Patent (2003-sekarang)
- Presiden Komisaris PT Prima Rezeki Pertiwi (2003-sekarang)
- Ketua Dewan Pimpinan Nasional Bidang Otonomi Daerah Partai Perhimpunan Indonesia Baru (2006-sekarang)
- Pemilik Restauran Bong
- Pemilik Radio Omega
- Walikota Singkawang, 17 Desember 2007-2012
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)